Ketika kita mengalami suatu kejadian yang tidak menyenangkan yang dilakukan seseorang dalam hidup kita dan kita sadar bahwa kita harus menerimanya tanpa perlawanan. Bagaimanakah sikap kita? Untuk melawan, kita belum mampu, paling kita hanya bisa menghindar sebisa mungkin dan hidup dalam perasaan was was. Kita tidak kebal dengan masalah yang menghampiri hidup kita. Respon kitalah yang menentukan, apakah kita mau hidup terikat dalam bayangan masa lalu atau lepas?
Mana yang lebih mudah? Memaafkan atau melupakan? Bagi banyak orang, melupakan menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan. Padahal memori kita tidak bisa dihapus begitu saja. Suatu ketika peristiwa yang mau kita lupakan akan kembali terlintas di pikiran kita. Sejatinya kita tidak melupakan apa yang terjadi, khususnya peristiwa yang telah membekas di hati kita. Bahkan peristiwa yang terjadi ketika kita masih kecil, kita masih bisa mengingatnya.Memang tidak semua hal kita ingat karena tiap hari kita menghadapi hal-hal yang baru yang membuat memori kita semakin bertambah.
Namun ada peristiwa yang sudah seharusnya kita lupakan karena akan berdampak tidak baik bagi kehidupan kita selanjutnya. Ketika peristiwa menyakitkan hati kita terjadi, maka kita harus menyelesaikan secepatnya agar hidup kita bisa berjalan dengan baik. Ada pilihan yang lebih baik daripada melupakan, yaitu memaafkan apa yang telah terjadi. Memaafkan berarti kita dengan kesadaran penuh memilih untuk merelakan apa yang telah terjadi dan dapat mengambil hikmah darinya. Jika peristiwa itu kembali teringat, kita tetap bisa menjalani hidup tanpa hambatan.
Melupakan hanya terjadi diantara kita dan pelaku, tetapi memaafkan hanya terjadi diantara kita, Tuhan dan pelaku. Karena memafkan membutuhkan kerjasama antara perkataan, perbuatan dan hati. Ketika hati terlibat, maka ada peran Tuhan di dalamnya.Perkataan dan perbuatan bisa dimanipulasi, tetapi hati tidak. Ketika hati sudah baik, maka perbuatan dan perkataan akan menurutinya. Sebab itu dari hati yang baik akan terpancar kehidupan yang baik.
Jika kita tidak mau memaafkan dan menyimpan kepahitan dalam hati dan berharap pelaku yang menyakiti kita menerima celaka, maka sebenarnya kita sedang meminum racun dan berharap pelakunya yang menikmati racun itu. Betapa tidak menyenangkan hidup kita apabila ada hal yang mengganjal dalam hati kita yang seharusnya bisa kita selesaikan dengan memaafkan tetapi kita tidak mau. Memaafkan bukan berarti kita sebagai pihak yang lemah, tetapi pihak yang kuat karena memaafkan adalah tindakan yang bijaksana yang tercipta dari kesadaran penuh bahwa kita manusia yang telah dimaafkan kesalahan kita terlebih dahulu oleh Tuhan.
Tuhan mau memaafkan kita, maka kita yang adalah ciptaanNya seharusnya melakukan hal yang sama. Dalam hal ini kita memaafkan karena perlakuan orang lain yang salah kepada kita. Kalau kita yang berbuat salah, maka kita yang harus meminta maaf kepada orang lain. Memaafkan berarti kita juga memberi tempat bagi Tuhan untuk melakukan apa yang Dia pandang baik bagi hidup kita dan orang lain. Jangan kita pikul semua beban hidup ini sendiri dengan tidak memaafkan, betapa melelahkannya.